Sabtu, 8 November 2025

Gelar Pahlawan Nasional

Bivitri Susanti Peringatkan Gelar Pahlawan Soeharto ‘Kembalikan UUD 1945 Awal’: Dampaknya Mengerikan

Menurutnya, amandemen UUD 1945 justru lahir sebagai koreksi terhadap perilaku dan sistem kekuasaan pada era Orde Baru Soeharto.

Tribunnews.com/Fransiskus Adhiyuda
GELAR PAHLAWAN SOEHARTO - Pakar Hukum Tata Negara dari Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera, Bivitri Susanti saat konferensi pers terkait penolakan gelar pahlawan kepada Soeharti yang dihadiri para aktivis, akademisi hingga tokoh agama di Gedung YLBHI, Menteng, Jakarta, Selasa (4/11/2025). 

 

Ringkasan Berita:
  • Pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto bukan hanya persoalan penghargaan semata
  • Langkah ini bisa menjadi ‘jalan tol’ menuju kembalinya UUD 1945 naskah awal Juli 1945
  • Gelar pahlawan untuk Soeharto dapat menghilangkan legitimasi Amandemen UUD 1945

 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pakar Hukum Tata Negara dari Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera, Bivitri Susanti menilai pemberian gelar pahlawan nasional kepada Presiden kedua RI, Soeharto, bukan hanya persoalan penghargaan semata. 

Namun, dia menyebut langkah ini bisa menjadi ‘jalan tol’ menuju kembalinya UUD 1945 naskah awal Juli 1945, yang dinilai memiliki kelemahan.

Baca juga: Yasonna Minta Usulan Soeharto Jadi Pahlawan Nasional Dikaji: Kontroversinya Sangat Tinggi

Bivitri menyatakan bahwa gelar pahlawan untuk Soeharto dapat menghilangkan legitimasi Amandemen UUD 1945 yang dilakukan dari tahun 1999 hingga 2002.

Hal itu disampaikan Bivitri saat konferensi pers terkait penolakan gelar pahlawan kepada Soeharti yang dihadiri para aktivis, akademisi hingga tokoh agama di Gedung YLBHI, Menteng, Jakarta, Selasa (4/11/2025).

Baca juga: Bahlil Sebut Prabowo Pertimbangkan Soeharto Jadi Pahlawan Nasional

"Bayangkan, kalau legitimasi perubahan UUD 45 itu menjadi hilang, karena Soeharto justru dianggap pahlawan, maka ini adalah jalan yang sangat mulus tanpa kerikil apapun untuk balik kepada UUD 1945 naskah awal," kata Bivitri.

Menurutnya, amandemen UUD 1945 justru lahir sebagai koreksi terhadap perilaku dan sistem kekuasaan pada era Orde Baru Soeharto.

"Ini semacam alarm sebetulnya, kami menyebutnya semacam pathway, untuk kembali kepada UUD yang lama," ujarnya.

Bivitri juga menjelaskan, semangat utama di balik amandemen konstitusi tidak bisa dipisahkan dari pembelajaran dari masa Orde Baru.

"Jadi kalau misalnya ingat, bagaimana misalnya yang pertama-tama masuk dalam amandemen 45 adalah pembatasan masa jabatan dari tak terhingga menjadi dua kali. Ini kan belajarnya dari Suharto," jelasnya.

Pembatasan jabatan presiden, yang awalnya masuk dalam Ketetapan MPR (TAP MPR), kemudian dikukuhkan dalam UUD 1945 hasil amandemen. Begitu pula dengan pembentukan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memberikan ruang bagi masyarakat untuk menguji undang-undang.

"Bagaimana misalnya kebijakan UU tidak ada yang bisa di-challenge, masuk Mahkamah Konstitusi," tambahnya.

Baca juga: ICW: Beri Gelar Pahlawan ke Soeharto Berarti Sama Saja Mengampuni Praktik KKN di Orde Baru

Bivitri memperingatkan bahwa kembali ke UUD 1945 naskah awal Juli 1945—yang ia sebut sebagai ‘naskah awal’ untuk menghindari dikotomi asli-palsu—akan membawa konsekuensi baru ke depannya.

"Bayangkan kalau balik ke UUD 45 naskah awal, maka kita tidak ada lagi MK, tidak ada lagi pasal-pasal HAM dalam Pasal 28 (UUD) lengkap di konstitusi. Enggak ada lagi itu," tegasnya.

Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved