Selasa, 4 November 2025

Demo di Jakarta

Grafolog Nilai Disinformasi Diduga Jadi Pemicu Gelombang Demonstrasi Akhir Agustus 2025

Gelombang demonstrasi yang terjadi sejumlah kota besar pada akhir Agustus 2025 diyakini bukan murni gerakan rakyat.

Penulis: Chaerul Umam
Editor: Wahyu Aji
TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN
Personel kepolisian dari Satuan Brimob, Sabhara dan Korlantas melakukan patroli di Kawasan Bundaran HI, Minggu (31/8/2025). Patroli yang melibatkan ratusan personel kepolisian ini merupakan upaya dalam menciptakan kembali situasi kondusif bagi masyarakat di Jakarta dan sekitarnya. TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN 

Ringkasan Berita:
  • Gelombang demonstrasi akhir Agustus 2025 di berbagai kota besar dinilai dipengaruhi oleh disinformasi dan manipulasi emosi sosial yang menggiring opini publik secara sistematis.
  • Grafolog dan ahli strategi AI Gusti Ayu Dewi menyebut pola gerakan berubah secara perlahan, dengan indikasi adanya pihak di balik layar yang memanfaatkan kemarahan publik untuk memicu kerusuhan, termasuk penjarahan rumah pejabat.
  • Dewi memperingatkan bahaya DFK (Disinformasi, Fitnah, Kebencian)

 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Gelombang demonstrasi yang terjadi sejumlah kota besar pada akhir Agustus 2025 diyakini bukan murni gerakan rakyat, melainkan akibat opini publik yang digiring secara sistematis melalui disinformasi dan permainan emosi sosial. 

Hal tersebut disampaikan oleh Grafolog sekaligus ahli strategi AI, Gusti Ayu Dewi.

Grafolog merupakan orang yang menguasai ilmu tentang aksara atau sistem tulisan.

Dewi mengungkapkan, dirinya telah memantau dinamika sosial sejak demonstrasi menolak kenaikan pajak yang dilakukan oleh Bupati Pati, Sudewo

Menurutnya, meski awalnya aksi tersebut berangkat dari keresahan masyarakat, namun arah gerakan kemudian berubah.

“Awalnya gerakan ini terlihat murni gerakan rakyat. Namun, secara perlahan terjadi perubahan pola, seperti ada pihak di balik layar yang mengendalikan,” kata Dewi kepada wartawan, Jumat (31/10/2025).

Dewi menilai, perubahan pola tersebut menunjukkan adanya upaya sistematis untuk menggiring opini publik lewat arus disinformasi dan pemanfaatan emosi sosial. 

Hal ini membuat logika publik menjadi kacau dan mudah diprovokasi hingga akhirnya berujung pada kerusuhan.

“Berbeda dari perang fisik yang menumpahkan darah, perang ini menyerang pikiran dan persepsi manusia, mengubah cara kita memaknai realitas. Musuhnya tidak kelihatan, tapi dampaknya nyata. Rakyat diadu, dibakar emosinya, dijadikan pion dalam permainan besar,” ujarnya.

Dewi menjelaskan, situasi tersebut menjadi pemicu munculnya aksi anarkis, termasuk penjarahan terhadap rumah sejumlah pejabat publik seperti Ahmad Sahroni, Nafa Urbach, Uya Kuya, hingga Eko Patrio. 

Dia menyebut, kemarahan publik yang awalnya bersifat moral kemudian dimanfaatkan oleh pihak tertentu dengan menyebarkan narasi palsu dan kebencian di media sosial.

Menurutnya, para pejabat tersebut memang menunjukkan sikap yang dianggap tidak empatik, namun amuk massa yang kemudian terjadi tidak bisa dibenarkan.

“Adanya disinformasi membuat amuk massa tidak terkontrol hingga terjadi tindak pidana penjarahan, pengancaman, hingga persekusi,” ucap Dewi.

Ia menegaskan, kritik terhadap pejabat publik sah dilakukan, namun segala bentuk kekerasan tetap merupakan tindak kriminal.

Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved