Demo di Jakarta
Grafolog Nilai Disinformasi Diduga Jadi Pemicu Gelombang Demonstrasi Akhir Agustus 2025
Gelombang demonstrasi yang terjadi sejumlah kota besar pada akhir Agustus 2025 diyakini bukan murni gerakan rakyat.
Ringkasan Berita:
- Gelombang demonstrasi akhir Agustus 2025 di berbagai kota besar dinilai dipengaruhi oleh disinformasi dan manipulasi emosi sosial yang menggiring opini publik secara sistematis.
 - Grafolog dan ahli strategi AI Gusti Ayu Dewi menyebut pola gerakan berubah secara perlahan, dengan indikasi adanya pihak di balik layar yang memanfaatkan kemarahan publik untuk memicu kerusuhan, termasuk penjarahan rumah pejabat.
 - Dewi memperingatkan bahaya DFK (Disinformasi, Fitnah, Kebencian)
 
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Gelombang demonstrasi yang terjadi sejumlah kota besar pada akhir Agustus 2025 diyakini bukan murni gerakan rakyat, melainkan akibat opini publik yang digiring secara sistematis melalui disinformasi dan permainan emosi sosial.
Hal tersebut disampaikan oleh Grafolog sekaligus ahli strategi AI, Gusti Ayu Dewi.
Grafolog merupakan orang yang menguasai ilmu tentang aksara atau sistem tulisan.
Dewi mengungkapkan, dirinya telah memantau dinamika sosial sejak demonstrasi menolak kenaikan pajak yang dilakukan oleh Bupati Pati, Sudewo.
Menurutnya, meski awalnya aksi tersebut berangkat dari keresahan masyarakat, namun arah gerakan kemudian berubah.
“Awalnya gerakan ini terlihat murni gerakan rakyat. Namun, secara perlahan terjadi perubahan pola, seperti ada pihak di balik layar yang mengendalikan,” kata Dewi kepada wartawan, Jumat (31/10/2025).
Dewi menilai, perubahan pola tersebut menunjukkan adanya upaya sistematis untuk menggiring opini publik lewat arus disinformasi dan pemanfaatan emosi sosial.
Hal ini membuat logika publik menjadi kacau dan mudah diprovokasi hingga akhirnya berujung pada kerusuhan.
“Berbeda dari perang fisik yang menumpahkan darah, perang ini menyerang pikiran dan persepsi manusia, mengubah cara kita memaknai realitas. Musuhnya tidak kelihatan, tapi dampaknya nyata. Rakyat diadu, dibakar emosinya, dijadikan pion dalam permainan besar,” ujarnya.
Dewi menjelaskan, situasi tersebut menjadi pemicu munculnya aksi anarkis, termasuk penjarahan terhadap rumah sejumlah pejabat publik seperti Ahmad Sahroni, Nafa Urbach, Uya Kuya, hingga Eko Patrio.
Dia menyebut, kemarahan publik yang awalnya bersifat moral kemudian dimanfaatkan oleh pihak tertentu dengan menyebarkan narasi palsu dan kebencian di media sosial.
Menurutnya, para pejabat tersebut memang menunjukkan sikap yang dianggap tidak empatik, namun amuk massa yang kemudian terjadi tidak bisa dibenarkan.
“Adanya disinformasi membuat amuk massa tidak terkontrol hingga terjadi tindak pidana penjarahan, pengancaman, hingga persekusi,” ucap Dewi.
Ia menegaskan, kritik terhadap pejabat publik sah dilakukan, namun segala bentuk kekerasan tetap merupakan tindak kriminal.
Demo di Jakarta
| Cerita Guru Madrasah Asal Cianjur: Pertama Kali Digaji Rp80 Ribu per Bulan, Anaknya Ogah Jadi Guru | 
|---|
| Guru Madrasah Demo di Monas, Siap Menginap Jika Prabowo Tak Jawab Tuntutan | 
|---|
| Guru Madrasah Gelar Aksi Demo di Monas, Tuntut Prabowo Buka Kuota PPPK hingga ASN | 
|---|
| Aksi Buruh di Jakarta Hari Ini, Daftar Isi Tuntutan, Bakal Mogok Nasional jika Tak Direspons | 
|---|
| Ribuan Guru Honorer Madrasah Swasta di Banten Demo ke Jakarta, Bagaimana Nasib Siswanya? | 
|---|
							
							
							
				
			
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.