Militer Jadi Aktor Serba Bisa, Imparsial Khawatir Ada Reinkarnasi Pola Lama Orde Baru
Menurut Imparsial sekitar 133 nota perjanjian kerja sama dijalin TNI dengan berbagai instansi.
Ringkasan Berita:
- Imparsial menyebut ada gejala rekonsolidasi militerisme yang mengarah ke level mengkhawatirkan saat ini
 - Ada sekitar 133 nota perjanjian kerja sama dijalin TNI dengan berbagai instansi
 - Intervensi militer ke dunia pendidikan adalah ancaman terhadap kebebasan akademik
 
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Direktur Imparsial, Ardi Manto Adiputra, menyebut ada gejala rekonsolidasi militerisme yang mengarah ke level mengkhawatirkan ditunjukkan oleh pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.
Ia mencerminkan kekhawatiran itu dari banyaknya nota kesepahaman yang melibatkan TNI dengan berbagai kementerian atau lembaga negara.
Kata dia sekitar 133 nota perjanjian kerja sama dijalin TNI dengan berbagai instansi.
Menurutnya, praktik ini bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI yang menyatakan bahwa operasi militer selain perang (OMSP) hanya dapat dilakukan atas keputusan politik negara, yakni keputusan Presiden yang disetujui DPR.
Hal ini disampaikan dalam diskusi publik bertajuk ‘Arus Balik Reformasi TNI: Konsolidasi Militerisme di Era Kontemporer’ yang digelar oleh BEM FISIP Universitas Padjadjaran dan Koalisi Masyarakat Sipil, Jumat (31/10/2025).
“Keterlibatan TNI dalam urusan non-pertahanan melalui MoU tersebut tidak hanya menyalahi aturan hukum, tetapi juga mengikis prinsip supremasi sipil,” kata Ardi.
Ia kemudian menyoroti pelibatan TNI dalam program sosial seperti Makan Bergizi Gratis (MBG) dan food estate alias program pengembangan pertanian pangan.
Menurutnya, terjunnya militer dalam proyek-proyek pembangunan tanpa dasar hukum dan mekanisme akuntabilitas yang jelas akan makin mempercepat reinkarnasi pola lama Orde Baru, di mana tentara dijadikan aktor serba bisa di bermacam sektor.
“Fungsi-fungsi itu seharusnya dijalankan oleh lembaga sipil yang memiliki mandat dan kapasitas teknis,” ujarnya.
Ardi menambahkan, lonjakan anggaran pertahanan tahun 2025 yang mencapai Rp247,5 triliun menjadi sinyal pergeseran orientasi negara dari kesejahteraan rakyat menuju politik kontrol dan stabilitas keamanan.
Ia mengingatkan bahwa dalam sistem demokrasi, anggaran publik seharusnya memperkuat kapasitas rakyat, bukan memperluas kewenangan aparat.
Intervensi militer
Sementara itu, Wakil Kepala Departemen ProAksi BEM FISIP UNPAD, Adhwa Hanifa mengaku prihatin atas makin sempitnya ruang berpikir kritis di kampus.
Intervensi militer ke dunia pendidikan adalah ancaman terhadap kebebasan akademik.
“Karakter militer tidak cocok dengan ruang diskusi yang terbuka terhadap kritik,” kata Adhwa.
Menurutnya, dalam negara demokratis, kontrol sipil terhadap militer harus diperkuat.
| Profil Mayjen TNI Iroth Sonny Edhie, Jebolan Akmil 1993 Kini Jabat Kepala Puskomlekad TNI AD | 
				      										 
												      	 |  
						 
				    
|---|
| Redefinisi Hubungan Sipil-Militer, Perkuat Pertahanan Negara | 
				      										 
												      	 |  
						 
				    
|---|
| Rakor Kemenko Polkam Bahas Target TNI Sampai 2029: 750 Batalyon Tempur hingga Satuan Antariksa | 
				      										 
												      	 |  
						 
				    
|---|
| Profil Letjen TNI Mohamad Hasan, Jebolan Akmil 1993 Kini Jabat Komandan Kodiklat TNI AD | 
				      										 
												      	 |  
						 
				    
|---|
| Urgensi Reformasi Peradilan Militer, Al Araf Singgung Kasus Kematian Prada Lucky | 
				      										 
												      	 |  
						 
				    
|---|
							
							
							
												      	
												      	
												      	
												      	
												      	
				
			
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.