Selasa, 28 Oktober 2025

Pasal-Pasal KUHP Baru Dinilai Rawan Kriminalisasi Kelompok Rentan

KUHP Nasional yang akan berlaku pada 2026 memunculkan kekhawatiran bagi kelompok rentan.

Penulis: Suut Amdani
Tribunnews.com
KUHP BARU - Direktur Yayasan KAKAK, Shoim Sahriyati menilai KUHP Nasional yang akan berlaku pada 2026 memunculkan kekhawatiran bagi kelompok rentan. 

TRIBUNNEWS.COM, SOLO - Direktur Yayasan KAKAK, Shoim Sahriyati, menilai sejumlah pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Nasional yang baru—UU Nomor 1 Tahun 2023—menimbulkan kekhawatiran, khususnya bagi kelompok rentan seperti perempuan, anak, kelompok minoritas agama dan kepercayaan, serta komunitas marjinal lainnya.

Menurutnya, potensi multitafsir dan implementasi yang tidak sensitif terhadap keragaman bisa memperbesar risiko diskriminasi dan kriminalisasi.

Indonesia mengesahkan KUHP baru melalui UU No. 1 Tahun 2023.

Regulasi ini memperkenalkan berbagai ketentuan, seperti jenis pidana dan tindakan baru, tindak pidana berdasarkan hukum adat, konsep pemaafan hakim, serta pidana korporasi. 

KUHP akan berlaku mulai 6 Januari 2026.

“Situasi ini menuntut pemahaman yang menyeluruh di kalangan masyarakat, terutama kelompok rentan yang akan terdampak penerapan KUHP Nasional,” ujar Shoim Sahriyati dalam Dialog Antaragama Dampak Pemberlakuan KUHP Nasional Bagi Kelompok Rentan, Senin (29/9/2025) di Hotel Grand H.A.P, Surakarta, Jawa Tengah.

Yayasan KAKAK Surakarta sejak 1997 bergerak dalam isu perlindungan anak dari kekerasan seksual dan perlindungan anak sebagai konsumen.

Pergeseran Paradigma Hukum Pidana

Dalam dialog tersebut, Melki Kura dari Lembaga Bantuan Hukum ATMA menjelaskan bahwa UU No. 1 Tahun 2023 menandai perubahan besar dalam sistem hukum pidana Indonesia.

KUHP lama menitikberatkan pada keadilan retributif—mengutamakan hukuman bagi pelaku. KUHP baru menggeser paradigma menuju keadilan restoratif, korektif, dan rehabilitatif.

Baca juga: Jaksa Agung Minta Jajarannya Mencermati KUHP Baru yang Akan Berlaku di 2026

Salah satu terobosan penting ialah penerapan keadilan restoratif, yang memungkinkan penyelesaian perkara pidana melalui perdamaian antara pelaku dan korban, khususnya untuk kasus dengan ancaman hukuman maksimal lima tahun.

“Penjara kini menjadi pilihan terakhir (ultimum remedium), sesuai Pasal 70 KUHP,” kata Melki.

Namun, ia menegaskan tantangan terbesar adalah mengubah pola pikir masyarakat dan menyelaraskan pemahaman aparat penegak hukum agar pendekatan baru ini diterapkan secara efektif.

KUHP Nasional bukan sekadar regulasi, melainkan transformasi nilai dalam penegakan hukum pidana di Indonesia.

Meski begitu, Melki juga menyoroti sejumlah pasal yang berpotensi multitafsir dan menimbulkan masalah dalam implementasi.

Ringkasan Pasal dan Catatan Kritis KUHP

Penghinaan Presiden & Wakil Presiden (Pasal 218–220)

  • Isi: Menghina Presiden/Wapres di muka umum, penjara hingga 3,5 tahun atau denda; lewat media/teknologi hingga 4,5 tahun.
  • Catatan: Dapat membatasi kebebasan berekspresi dan kritik politik; delik aduan hanya dari Presiden/Wapres.
Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved