Rabu, 17 September 2025

Tantangan Penurunan Stunting di Indonesia dan Pentingnya Edukasi Gizi

Indonesia menjadi negara dengan prevalensi stunting tertinggi kedua di Asia Tenggara setelah Timor Leste. 

Editor: Tiara Shelavie
Freepik
Ilustrasi anak mengukur tinggi badan 

TRIBUNNEWS.COM - Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dalam lamannya menyebutkan bahwa telah terjadi peningkatan angka pemberian ASI eksklusif di Indonesia.

Data menunjukkan, pada 2017 pemberian ASI eksklusif di Indonesia tercatat 52 persen, lalu meningkat menjadi 68 persen pada 2023.

WHO menargetkan angka 50 persen untuk pemberian ASI eksklusif di dunia.

Sementara angka pemberian ASI yang tinggi, angka stunting di Indonesia sayangnya juga tinggi.

Pada 2024 tercatat prevalensi stunting mencapai 21,6 persen, masih jauh dari target 14 persen yang dicanangkan pemerintah.

Indonesia menjadi negara dengan prevalensi stunting tertinggi kedua di Asia Tenggara setelah Timor Leste. 

Padahal seharusnya pemberian ASI eksklusif mendorong turunnya stunting.

Setelah Enam Bulan, Bayi Harus Dapat MPASI

dr. Ian Suryadi Suteja, M.Med Sc, Sp.A, Dokter Spesialis Anak dan Konselor Pemberi Makan Bayi dan Anak (PMBA), menyampaikan pentingnya peranan edukasi untuk bisa menekan stunting, “Masyarakat perlu diedukasi agar setiap bulan mau pergi ke Posyandu untuk dilakukan pengukuran tinggi dan berat badan. Bila terdeteksi kenaikan berat badan yang tidak adekuat, maka harus segera ditangani agar tidak jatuh dalam kondisi malnutrisi dan stunting,” ujarnya.

“Masyarakat juga wajib diberitahu cara dan aturan praktik pemberian makan-minum yang tepat sesuai usia bayi dan anak, karena setelah usia enam bulan, bayi harus mendapatkan MPASI dan tidak boleh hanya mendapatkan ASI saja tanpa makanan pendamping yang sesuai,” tambahnya.

Ian juga menyebutkan pentingnya bayi dan anak mendapatkan asupan makanan dengan kandungan gizi yang lengkap dan seimbang sesuai usia dan kebutuhan kalori hariannya.

“Bila telah mengalami kondisi gizi kurang, gizi buruk, atau stunting, terapi bagi bayi dan anak yang tepat adalah dengan pemberian nutrisi khusus berupa PKMK (Pangan Olahan untuk Keperluan Medis Khusus) yang salah satunya berbentuk susu dengan komposisi khusus. Nutrisi khusus ini harus memenuhi setidaknya 30 persen dari total kebutuhan kalori dari pasien stunting setiap harinya,” jelas dokter yang kerap mengedukasi masyarakat melalui akun instagram @iansuteja itu.

Jangan Samakan Sufor dengan Rokok

Guru Besar Ilmu Gizi dan Kesehatan Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), Profesor Tria Astika Endah P menyebutkan bahwa pembatasan promosi dan sosialisasi susu formula dalam Peraturan Pemerintah (PP) nomor 28 tahun 2024 perlu dikaji kembali.

“Pelarangan yang berlebihan membuat seolah-olah sufor berdampak buruk pada bayi. Ini salah besar,” ujarnya. 

Tria juga melihat, pelarangan ini seolah menempatkan susu formula pertumbuhan setara dengan rokok yang juga dibatasi untuk berpromosi.

Halaman
12
Sumber: TribunSolo.com
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan