Mulyo Handoyo: Saya dan Taufik Hidayat Tak Pernah Bercanda
Indonesia akhirnya harus kehilangan seorang pahlawan besar di dunia bulutangkis.
Penulis:
Deodatus Pradipto
TRIBUNNEWS.COM - Indonesia akhirnya harus kehilangan seorang pahlawan besar di dunia bulutangkis. Ia adalah Taufik Hidayat, seorang legenda hidup bulu tangkis yang sudah berhasil mengharumkan nama Indonesia di kancah internasional.
Prestasi terhebat Taufik Hidayat adalah ketika meraih medali emas di Olimpiade Athena pada 2004. Nama besar Taufik membuat pria 31 tahun itu menjadi bintang besar yang dielu-elukan seluruh bangsa, meski perjalanan kariernya juga dibumbui dengan sejumlah kontroversi.
Taufik Hidayat menutup kariernya dengan kekalahan pada babak 32 besar Djarum Indonesia Open 2013, setelah dikalahkan oleh B. Sai Praneeth melalui pertarungan tiga set 21-15 12-21 17-21. Namun jangan melihat penutupan yang tidak manis, karena seorang pahlawan akan selalu menjadi pahlawan.
Hal itu merupakan penuturan pelatih Taufik Hidayat, Mulyo Handoyo, kepada Tribunnews.com. Mulyo menuturkan bagaimana perjuangan dia memoles Taufik Hidayat dan bagaimana mereka bersama-sama merasakan pahit dan manis.
Berikut ini petikan wawancara Tribunnews.com dengan Mulyo Handoyo.
Tribunnews.com (T): Bagaimana anda bisa memoles seorang Taufik Hidayat?
Mulyo (M): Waktu itu saya mulai melatih Pratama pada 1995, sedangkan Taufik baru setahun kemudian. Ketika itu usia Taufik Hidayat masih belasan. Beberapa bulan berama dia, saya melihat dia memiliki perbedaan dibanding yang lain. Dia memiliki niat yang sangat besar. Waktu itu dia kerap berlatih dengan senior-seniornya seperti Hariyanto Arbi, Joko Supriyanto, dan lainnya. Hebatnya, dia seperti tidak kenal lelah, istirahat 15 menit, lalu dia bermain selama satu jam dan seperti itu seterusnya.
T: Tentu anda bangga terhadap Taufik. Apa saja momen terbaik dan terburuk selama melatih dia?
M: Tentu saya bangga. Momen yang paling membuat saya bangga adalah ketika dia jadi juara di Athena (Olimpiade 2004). Merah putih berkibar dan Indonesia Raya berkumandang. Ketika itu kondisi dia nyaris tidak lolos ke Olimpiade. Waktu itu saya sempat meninggalkan dia ke Singapura. Hanya sekitar 6-7 bulan sebelum Olimpiade, posisi dia melorot jauh, sedangkan batas untuk tampil di Olimpiade adalah peringkat ke-16. Saya diminta kembali oleh PBSI dan ketika itu saya tanya ke dia, 'Kamu mau capai, Fik?' Dia bilang mau dan siap. Setelah itu dia berhasil menjuarai Kejuaraan Asia, peringkatnya naik jauh, namun sebatas di peringkat ke-17. Beruntungnya ada peraturan kuota pemain dari China dan Denmark sehingga dia boleh bermain.
Yang paling mengecewakan mungkin adalah All England. Dua kali dia tampil di final, dua kali pula dia gagal. Namun demikian saya tetap bangga menjadi pelatih seorang Taufik Hidayat. Teman-teman anak saya bertanya kepada anak saya, 'Ayah kamu pelatihnya Taufik Hidayat?'. Bagi saya tidak ada istilah mantan pahlawan, yang ada hanya pahlawan karena sampai kapapn pun, terlepas dari baik dan buruknya, pahlawan tetap selalu menjadi pahlawan. Pengalaman ini bisa saya banggakan kepada anak dan cucu saya, pengalaman memoles Taufik Hidayat yang menjadi pahlawan.
T: Seperti apa hubungan anda dengan Taufik?
M: Di lapangan kami adalah atlet dan pelatih, tapi di luar lapangan kami adalah teman. Dia sering mencurahkan perasaannya kepada saya, meski tidak semua. Tapi lucunya, setiap kali kami hanya berdua, mungkin karena terbiasa serius di lapangan, kami tidak bisa bersenda gurau. Kalau ada orang ketiga kami baru bisa bercanda. Misalnya kalau kami tidur sekamar di hotel, kami lebih banyak diam. Dia asyik dengan kegiatannya, begitu pun saya.
T: Banyak orang yang menyebut Taufik itu kontroversial, bahkan angkuh. Seperti apakah Taufik yang sebenarnya?
M: Dia hanya ingin yang terbaik. Bukan ambisius. Dia sebenarnya mudah bergaul dan ramah. Memang dia tidak mudah langsung dekat dengan orang yang baru dia temui. Oleh karena itu tidak heran dia jika dibilang angkuh.
T: Tanpa Taufik, bagaimana pandangan anda soal perbulutangkisan Indonesia ke depannya?
M: Pemain-pemain yang sekarang kita punya sebenarnya memiliki kemampuan, namun kalau boleh jujur, kemampuan mereka masih jauh di bawah Taufik dan pemain-pemain sekelas dia seperti Lin Dan dan Lee Chong Wei. Namun demikian mereka tetap bisa memberi prestasi karena level perbulutangkisan dunia, khususnya tunggal putra, tidak seperti dulu lagi. Mereka bisa asal dirangkul.